Inilah Pengganti Skripsi untuk Kelulusan Mahasiswa

Assalamu‘alaikum wr. wb.

Halo semuanya, Kembali lagi bersama Teknoblog di Inzaghi's Blog! Beberapa Minggu yang lalu, Kemendikbudristek tidak lagi mewajibkan Skripsi sebagai Syarat Kelulusan Mahasiswa. Tapi, ada penggantinya selain Skripsi. Apa saja itu? Mari kita bahas pada Artikel ini!

Ilustrasi Skripsi Mahasiswa

Sumber Artikel : Kompas.comUmsu.ac.id, dan Detik.com


BERITA AWAL

Ketentuan Tidak Wajib Skripsi oleh Kemendikbudristek

Menteri Nadiem Makarim mengeluarkan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbud Ristek) No 53 Tahun 2023 tentang Penjamin Mutu Pendidikan Tinggi yang di dalamnya tidak mewajibkan mahasiswa S1 dan D4 membuat skripsi untuk tugas akhir. Aturan tersebut menyebutkan bahwa mahasiswa diberikan sejumlah pilihan tugas akhir sebagai syarat kelulusan. Pilihan itu berupa skripsi, prototipe, proyek, atau bentuk tugas akhir sejenis lainnya yang bisa dikerjakan secara individu atau berkelompok. Dengan kata lain, skripsi bukan lagi menjadi satu-satunya pilihan wajib mahasiswa untuk lulus dari perguruan tinggi.

Dalam Diskusi Merdeka Belajar Episode ke-26 tentang Transformasi Standar Nasional dan Akreditasi Pendidikan Tinggi Menteri Nadiem menjelaskan bahwa bahwa penambahan pilihan tugas akhir ini karena mempertimbangkan berbagai macam prodi yang mungkin memiliki cara pengukuran kompetensi yang berbeda. Aturan tersebut mungkin akan mengakselerasi lama studi mahasiswa, namun apakah menjadikan kualitas mereka turun?

Dalam mewujudkan Indonesia Emas 2045, Kementerian PPN/Bappenas menyusun Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045, terdapat 8 agenda dalam RPJNP menuju Indonesia Emas, salah satu agenda dan menjadi agenda pertama adalah transformasi sosial.

Dalam memenuhi agenda transformasi sosial terdapat tiga indikator salah satunya kualitas pendidikan yang merata. Pendidikan merupakan salah satu faktor kunci kemajuan suatu negara dan hal ini telah diakui oleh berbagai penelitian. Misalnya, Erik Hanuszek dan Rudger Usman, dalam Journal of Economic Literacy (2015), menunjukkan adanya korelasi yang kuat antara kualitas pendidikan dengan pertumbuhan ekonomi nasional.

Selain itu, studi yang dilakukan oleh Michael Grossman dari National Bureau of Economic Research (NBER) menemukan bahwa tingkat pendidikan yang lebih tinggi berkorelasi dengan kesehatan yang lebih baik, sehingga menghasilkan kualitas hidup dan harapan hidup yang lebih tinggi. UNESCO juga menekankan bahwa pendidikan berperan dalam mendorong stabilitas sosial dengan mengurangi kesenjangan dan memperkuat lembaga-lembaga demokrasi.

Oleh karena itu, investasi pada pendidikan berkualitas mempunyai manfaat lintas generasi saat ini, memberikan dampak positif terhadap perekonomian serta kesehatan nasional dan stabilitas sosial, dan pendidikan tinggi memiliki peran yang sangat signifikan.

Selain itu pendidikan tinggi diakui secara luas sebagai motor penggerak utama pembangunan nasional. Hal ini didukung oleh laporan dari Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif antara pencapaian pendidikan tinggi dan produktivitas tenaga kerja, yang secara langsung mempengaruhi pertumbuhan ekonomi suatu negara.

Studi yang diterbitkan oleh World Economic Forum menegaskan bahwa perguruan tinggi merupakan pusat inovasi dan penelitian yang berperan penting dalam inovasi dan penyelesaian masalah sosial. Lumina Foundation melaporkan bahwa individu yang memiliki akses terhadap pendidikan tinggi lebih besar kemungkinannya untuk berpartisipasi dalam kegiatan sipil dan demokrasi, sehingga berkontribusi terhadap stabilitas sosial dan kelembagaan.

Pendidikan tinggi tidak hanya menjadi katalis bagi pembangunan ekonomi, namun juga merupakan inkubator bagi inovasi dan pilar stabilitas sosial, menjadikan investasi di bidang ini sebagai salah satu strategi paling efektif untuk memajukan negara secara keseluruhan.

Namun menurut data Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil), penduduk Indonesia berjumlah 275,36 juta jiwa pada 2022. Dari jumlah tersebut hanya 6,41% yang sudah mengenyam pendidikan sampai perguruan tinggi. Ini menjadi tugas kita semua, bagaimana bertransformasi sosial melalui pendidikan tinggi, dengan mengarahkan kepada generasi muda untuk melanjutkan pembelajaran pada tingkat tinggi, bahkan sudah banyak beasiswa baik dari pemerintah atau swasta untuk masyarakat Indonesia.

Data Kemendikbud Ristek, jumlah mahasiswa di Indonesia sebanyak 9,32 juta orang pada 2022. Jumlah itu naik 4,02% dibandingkan pada tahun sebelumnya sebanyak 8,96 juta orang, dan setiap tahun mahasiswa yang lulus sekitar 1,8 juta orang. Namun terdapat masalah pada penyerapan tenaga kerja dan tingkat pengangguran. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, data Februari 2023 masih ada 7,99 juta pengangguran di Indonesia.

BPS juga mencatat ada 135,61 juta penduduk bekerja pada Februari 2022. Mayoritasnya atau 29,96% terserap di sektor pertanian, sektor perdagangan menempati urutan kedua, dengan jumlah penduduk bekerja yang terserap mencapai 19,03%. Kemudian sektor industri menyerap penduduk bekerja sebanyak 13,77%, akomodasi dan makanan-minuman 7,11%, serta lapangan usaha konstruksi 6,04%.. Sektor jasa pendidikan menyerap 4,89%, jasa lainnya 4,34%, lalu sektor transportasi dan pergudangan 4,21%. Diikuti oleh sektor administrasi pemerintahan yang menyerap 3,42%, jasa kesehatan 1,76%, jasa perusahaan 1,43%, pertambangan 1,17%, dan jasa keuangan 1,11%. Adapun sektor pengadaan listrik dan gas memiliki serapan penduduk bekerja paling sedikit, yakni hanya 0,23%.


PENGGANTI SKRIPSI

Nadiem menjelaskan, syarat kelulusan S1 dan D4 akan diserahkan kepada setiap Kepala Program Studi (Kaprodi) di masing-masing perguruan.

Aturan tersebut telah tertuang dalam Peraturan Mendikbud Ristek (Permendikbud Ristek) Nomor 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi.

"Tugas akhir bisa berbentuk macam-macam. Bisa bentuk prototipe dan proyek. Bisa bentuk lainnya. Tidak hanya skripsi atau disertasi," tutur Nadiem.

Kendati demikian, dia menegaskan, aturan ini bukan berarti mahasiswa tidak lagi dapat mengerjakan Skripsi, Tesis, atau Disertasi.

Menurutnya, setiap Kaprodi memiliki kemerdekaan sendiri untuk menentukan standar capaian kelulusan mahasiswa.

"Perguruan tinggi dapat merumuskan kompetensi sikap dan keterampilan secara terintegrasi," jelasnya.

Merujuk pada Permendikbud Ristek Nomor 53 Tahun 2023, berikut syarat kelulusan yang dapat diterapkan untuk mahasiswa :

1. Program Diploma Tiga (D3)

Dapat diberikan tugas akhir dalam bentuk Prototipe, Proyek, atau bentuk Tugas Akhir lain yang sejenis, baik secara individu maupun berkelompok.

2. Program Sarjana (S1) dan Sarjana Terapan (D4)

Pemberian Tugas Akhir yang dapat berbentuk Skripsi, Prototipe, Proyek, atau bentuk Tugas Akhir lain yang sejenis, baik secara individu maupun berkelompok.

Penerapan Kurikulum berbasis Proyek atau bentuk pembelajaran lain yang sejenis dan Asesmen yang dapat menunjukkan ketercapaian kompetensi lulusan.

3. Program Magister (S2)

Wajib diberikan Tugas Akhir dalam bentuk Tesis, Prototipe, Proyek, atau bentuk Tugas Akhir lain yang sejenis.

4. Program Doktor (S3)

Wajib diberikan Tugas Akhir dalam bentuk disertasi, Prototipe, Proyek, atau bentuk Tugas Akhir lain yang sejenis.

Sementara itu, meski Mahasiswa Magister (S2) dan Doktor (S3) tetap wajib menyelesaikan Tugas Akhir, tetapi tidak lagi harus menerbitkannya di jurnal.

Banyak kendala Tugas Akhir

Nadiem menyampaikan, sejauh ini terdapat banyak kendala terkait tugas akhir, baik oleh perguruan tinggi ataupun mahasiswa.

Selain beban dari segi waktu, pengerjaan skripsi dinilai menghambat mahasiswa dan perguruan tinggi untuk bergerak luas merancang proses dan bentuk pembelajaran sesuai kebutuhan keilmuan dan perkembangan teknologi.

"Padahal perguruan tinggi perlu menyesuaikan bentuk pembelajaran agar lebih relevan dengan dunia nyata," kata dia, dikutip dari Kompas.com, Selasa.

"Karena itu perguruan tinggi perlu ruang lebih luas untuk mengakui dan menilai hasil pembelajaran di luar kelas," tambahnya.

Selain itu, Nadiem melanjutkan, tidak semua program studi dapat mengukur kompetensi mahasiswa hanya dari skripsi.

Misalnya, program studi vokasi dengan keterampilan teknis akan lebih cocok dengan tugas akhir seperti proyek atau bentuk lainnya.

Pun serupa dengan Program Studi Akademik, tak semua mahasiswa dapat diukur dengan cara yang sama.

Untuk itu, program studi sarjana terapan yang sudah menerapkan kurikulum berbasis proyek atau bentuk lain yang sejenis, dapat menerapkan kebijakan tidak mewajibkan tugas akhir.

Namun, jika masalah skripsi tak wajib menjadi masalah saat proses akreditasi, perguruan tinggi dapat menyampaikan kompetensi selama perkuliahan sebagai argumen.

"Saat proses akreditasi perguruan tinggi bisa berargumen apabila kompetensi anak-anak selama 3,5 Tahun itu sudah sama dengan skripsi dan itu bisa dibuktikan selama mereka kuliah di tahun-tahun tersebut," tandas Nadiem.


Semoga saja nantinya saat saya sudah berada di Semester 7 dan 8 atau tepatnya Tahun depan, Skripsi sudah tidak wajib lagi. Saat ini saya sedang berada di Semester 5 sedang menempuh Pendidikan S1.

Terima Kasih 😄😘👌👍 :)

Wassalamu‘alaikum wr. wb.

Post a Comment

Previous Post Next Post